09-04-2010, 12:34 PM
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban.
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung
hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak
yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada
Idul Adha nanti,
sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini
tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi
memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang,
ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat
tersebut.
" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah
tidak kurang" kata si pedagang berpromosi
matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.
" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang
bertahan.
" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah
berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.
" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku
" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek
" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?"
ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke
sini sendiri.
Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput"
kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga
selain
yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing
lainnya
yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus
ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil.
Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya.
Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini
selangit.
" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian
" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah"
katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan
harga kambing coklat Mega Super tadi.
Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih
terlihat segar.
" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum
" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah malas
menjawab
setelah melihat penampilan si kakek.
" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek dalam
bahasa Purwokertoan
" bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba negosiasi juga.
" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.
" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku
mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan
dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di
bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan
dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya
mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak
tadi.
Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang
disodorkan si kakek,
kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.
" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek
seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek
" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi
mbah)
" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya
" tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu
ya),
sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman,
takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda
Pasir Mukti,
InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu)."
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si
kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua
yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap
dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke
arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol,
sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan
oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri
dengan mewah,
rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan
pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai
Manajer perusahaan swasta.
Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi
Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup
membeli seekor kambing Mega Super
Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya
Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku
yang harganya tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail, kendaraanku di
dunia fana.
Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat
membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia
balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung
hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak
yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada
Idul Adha nanti,
sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini
tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi
memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang,
ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat
tersebut.
" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah
tidak kurang" kata si pedagang berpromosi
matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.
" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang
bertahan.
" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah
berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.
" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku
" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek
" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?"
ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke
sini sendiri.
Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput"
kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga
selain
yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing
lainnya
yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus
ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil.
Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya.
Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini
selangit.
" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian
" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah"
katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan
harga kambing coklat Mega Super tadi.
Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih
terlihat segar.
" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum
" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah malas
menjawab
setelah melihat penampilan si kakek.
" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek dalam
bahasa Purwokertoan
" bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba negosiasi juga.
" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.
" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku
mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan
dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di
bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan
dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya
mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak
tadi.
Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang
disodorkan si kakek,
kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.
" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek
seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek
" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi
mbah)
" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya
" tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu
ya),
sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman,
takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda
Pasir Mukti,
InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu)."
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si
kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua
yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap
dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke
arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol,
sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan
oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri
dengan mewah,
rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan
pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai
Manajer perusahaan swasta.
Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi
Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup
membeli seekor kambing Mega Super
Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya
Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku
yang harganya tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail, kendaraanku di
dunia fana.
Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat
membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia
balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu